Kamis, 03 Maret 2016

Mitodologi



Karena kita seperti mitodologi yang tidak pernah diceritakan kepada anak-anak dungu yang begitu saja percaya pada kisah yang dikatakan orang tua mereka sebelum tidur. Kemudian ketika mereka beranjak dewasa, menjadi orang yang sangat egois dan menendang setiap pernyataan yang penuh kebenaran dari orang tua mereka. Tentang jalan hidup yang harus di tempuh, sebab duri-duri itu telah tertancap lebih dulu di kaki para tetua. Bukan kita menyalahkan karena telah lebih dulu menjadi tua, hanya saja itulah resiko yang harus diambil. Apa kita harus mencerca tiap kebohongan yang dulu pernah dikatakan oleh mulut-mulut para tetua? untuk menakuti kita agar tidak beranjak dari rumah tatkala senja menjelang atau ketika ufuk tengah menyalakan tungku. Karena manusia menjadi semakin dewasa, tak perlu ikut campur katanya. Sebab rasa garam di lampau berbeda dengan rasa garam di masa kini.

Lalu aku menjadi beku ketika menyadari, seperti itulah kita di mata dunia dan orang-orang yang telah lama merangkak dan beranjak bersama dari tangga satu ke tangga yang lainnya. Tatkala mereka menjadi sedikit paham pada dunia yang mengantarkan kebohongan, kita berubah menjadi legenda yang tidak pernah diceritakan atau dikatakan lagi. Entah sebagai goyunan untuk menyindir kesialan yang menimpa diri atau untuk sekadar lelucon ketika hati remuk redam.

Apa kita akan kehilangan ekstrak diri yang sudah tertanam lama dalam sel sebagai pemberian Tuhan, lantaran kita terkubur secara hina di mata manusia? Sebab itu kah kita tidak sekalipun mensyukuri rasa kehilangan yang mematikan setiap sendi. Aku tidak ingin menyarankan apa-apa, terlebih pada kita yang telah melumat habis setiap roti kebohongan yang penuh racun mematikan tanpa tahu jenis racun apa yang terkandung di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar