Minggu, 27 Maret 2016

Maling Kundang

Tentang cerita-cerita malam yang dulu sempat didongengkan oleh orang tua pada anaknya menjelang tidur. Cerita Si Maling Kundang dari Sumatra yang menjadi batu karena durhaka. Yang lebih memilih menjadi kaya serta wanita bangsawan dibanding seorang wanita tua renta yang melahirkan dan merawatnya sejak masih menjadi jambang. Bagaimana dengan mudahnya seseorang tergiur harta dan tergoda wanita, lalu mengabaikan ibu yang mengandung dan menahan derita rindu pada sang anak yang telah lama merantau. Dan ketika anak itu kembali pun, ia telah berubah menjadi orang lain. Bukan hanya tampilan baju yang cemerlang di pandangan mata tapi juga pikiran yang mulai lengser dan menjadi cepat murka. Bagaimana dengan begitu tega membiarkan ibu berduka dan berlutut penuh iba. Bukan berharap pada setumpuk emas yang dipikul sang anak, melainkan pengakuan cinta dari sang anak. Namun, anak itu telah durhaka, buta mata serta hatinya. serta telah tuli telinganya. tersilau oleh kemilau harta dan wanita bangsawan yang entah setia atau tidak. Bagaimana ia begitu tega, mengusir wanita renta dengan keriput di wajah, tanpa belas kasih serupa. sudah lupakah ia, ketika kanak-kanak, mendekap dengan ketakutan kala petir mengiringi hujan membasahi bumi. Lupakah ia, dulu ketika remaja, sebelum berangkat ke negeri seberang, pada janji tulus yang ia ikrarkan. Hah, betapa hati manusia cepat berubah, hanya karena sedikit harta. Apa lupa, Tuhan adalah pemberi segala. Mengabulkan do'a manusia yang teraniaya, terutama wanita yang terluka pada sang anak.


Makassar, perpustakaan UIN Makassar- Senin, 28 maret 2016

Kamis, 03 Maret 2016

Mitodologi



Karena kita seperti mitodologi yang tidak pernah diceritakan kepada anak-anak dungu yang begitu saja percaya pada kisah yang dikatakan orang tua mereka sebelum tidur. Kemudian ketika mereka beranjak dewasa, menjadi orang yang sangat egois dan menendang setiap pernyataan yang penuh kebenaran dari orang tua mereka. Tentang jalan hidup yang harus di tempuh, sebab duri-duri itu telah tertancap lebih dulu di kaki para tetua. Bukan kita menyalahkan karena telah lebih dulu menjadi tua, hanya saja itulah resiko yang harus diambil. Apa kita harus mencerca tiap kebohongan yang dulu pernah dikatakan oleh mulut-mulut para tetua? untuk menakuti kita agar tidak beranjak dari rumah tatkala senja menjelang atau ketika ufuk tengah menyalakan tungku. Karena manusia menjadi semakin dewasa, tak perlu ikut campur katanya. Sebab rasa garam di lampau berbeda dengan rasa garam di masa kini.

Lalu aku menjadi beku ketika menyadari, seperti itulah kita di mata dunia dan orang-orang yang telah lama merangkak dan beranjak bersama dari tangga satu ke tangga yang lainnya. Tatkala mereka menjadi sedikit paham pada dunia yang mengantarkan kebohongan, kita berubah menjadi legenda yang tidak pernah diceritakan atau dikatakan lagi. Entah sebagai goyunan untuk menyindir kesialan yang menimpa diri atau untuk sekadar lelucon ketika hati remuk redam.

Apa kita akan kehilangan ekstrak diri yang sudah tertanam lama dalam sel sebagai pemberian Tuhan, lantaran kita terkubur secara hina di mata manusia? Sebab itu kah kita tidak sekalipun mensyukuri rasa kehilangan yang mematikan setiap sendi. Aku tidak ingin menyarankan apa-apa, terlebih pada kita yang telah melumat habis setiap roti kebohongan yang penuh racun mematikan tanpa tahu jenis racun apa yang terkandung di dalamnya.

Rabu, 02 Maret 2016

Bicara Tentang Rindu

Bolehkah aku bicara perihal rindu? tiba-tiba saja aku teringat di masa lampau. Tentang seseorang yang memaksa hadir dalam hidup. Barangkali itu kebetulan, tapi benarkan di dunia ini ada kebetulan? Mustahil bukan, tidak ada yang bernama kebetulan di dunia ini, yang ada hanyalah semua sudah di takdirkan. Aku sudah ditakdirkan untuk masuk dalam hidupnya dan dia barangkali pun begitu.